MINAT BACA YANG RENDAH, INDONESIA DARURAT LITERASI

Tidak ada komentar

 
Ilustrasi

Saya cukup tercengang sekaligus prihatin ketika membaca sebuah berita yang dilansir oleh Tribunnews.com yang berjudul "Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara". Lebih lanjut dijelaskan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, menempatkan Negara Indonesia di ranking ke 62 dari 70 negara di dunia berdasarkan tingkat literasi. Artinya Indonesia berada pada peringkat ke-8 paling buncit. Dan jika mengacu pada sebuah survey UNESCO tahun 2016 maka hasilnya akan lebih mengenaskan, yaitu dengan menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,0001 persen, artinya setiap 1000 orang Indonesia yang hobi dan rajin membaca Cuma 1 orang saja. WAAAW!!!


Berangkat dari laporan mencengangkan dalam artikel tersebut, saya yang kebetulan sebagai salah seorang tenaga pendidik baru di salah satu sekolah di Lampung Timur ingin mencoba "meng-croscek" langsung kebenaran data tersebut pada sekolah tempat saya mengajar dengan cara bertanya langsung kepada setiap siswa kelas tinggi di 4 kelas yang saya ajar. Sebagai info bahwa dalam satu kelas terdiri dari siswa-siswi yang berjumlah sekitar 26 orang. Jadi jumlah seluruh siswa dalam 4 kelas tersebut adalah sekitar 104 siswa.


Beberapa pertanyaan yang saya tanyakan kepada mereka diantaranya adalah :

- Apakah sering membaca buku dirumah?

- Pernah membeli buku atau dibelikan buku oleh orang tua?

Apa yang terjadi selanjutnya?

Secara mengejutkan dari hampir seluruh siswa yang saya tanya tentang kegiatan membaca buku dirumah, sebagian mereka menjawab "Tidak Pernah" membaca buku. Dan beberapa diantaranya hanya menjawab "Pernah" membaca buku, jadi jawaban "pernah" itu saya artikan sebagai "sangat jarang sekali" membaca buku.


Kemudian tentang pertanyaan kedua apakah pernah membeli atau dibelikan buku oleh orang tua? Maka sebagian besar menjawab "TIDAK PERNAH", dan hanya beberapa siswa yang jumlahnya jika dihitung pake jari tangan tidak akan habis yang menjawab "PERNAH", dibelikan buku.


Dan jika saya membandingkan lagi dengan kegiatan literasi disekolah, maka saya temukan bahwa Perpustakaan sekolah itu sangat sepi dari kegiatan membaca. Siswa-siswi akan terlihat sibuk dengan buku saat disekolah hanya pada saat mendapatkan tugas dari guru-guru mereka. Adapun untuk kegiatan membaca secara mandiri seperti datang ke perpustakaan kemudian membaca atau meminjam untuk kegiatan membaca dirumah itu adalah sebuah pemandangan yang "SANGAT LANGKA".


Disatu sisi, jika saya perhatikan ternyata pihak sekolah sendiri sepertinya memang terkesan abay terhadap masalah rendahnya kegiatan literasi ini. Kewajiban sekolah seolah hanya terbatas pada pengadaan fasilitas perpustakaan dan buku-bukunya saja. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau kebijakan-kebijakan yang berfungsi untuk menggerakkan atau menghidupkan budaya literasinya itu sendiri tidak ada. Di sisi lainnya terutama guru yang seharusnya menjadi penggerak utama untuk mengiatkan budaya literasi bagi para murid-muridnya malah seperti kehabisan ide dan inisiatif, mungkin salah satu sebabnya adalah karena para guru ini terlalu disibukkan dan dipusingkan dengan masalah-masalah administrasi dan perintah-perintah dari pengawas yang "NJELIMET" dan tiada berkesudahan. Sehingga mengakibatkan konsentrasi mereka terpecah dan akhirnya AMBYAAAR. Satu hal yang terakhir ini belum saya temukan korelasi dengan apa yang sering digaungkan oleh Menteri Pendidikan Anwar Nadiem Makarim dengan istilah "MERDEKA BELAJAR" bagi para pendidik ataupun peserta didik.


Apalagi jika masalah rendahnya literasi ini kita kaitkan dengan peran lingkungan pendidikan di keluarga siswa-siswi itu sendiri, terutama peran sang orang tua ibu dan ayah. Diakui ataupun tidak fakta bahwa semakin rendahnya perhatian dan dukungan keluarga terutama ayah dan ibu di Indonesia terhadap pendidikan anak-anak mereka. Kesibukan dalam bekerja ditambah dengan program BOS yang berakibat sebagian sekolah tiada lagi mengenakan beban biaya pendidikan bagi para murid-muridnya mungkin telah menyebabkan sang orang tua seolah "Melepaskan Tanggung Jawab" dan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan dan hal-hal terkait dengannya kepada sekolah. Akibat sekali lagi bisa kita lihat betapa tiada pengawasan dan control terhadap perkembangan pendidikan anak-anak mereka.


Semoga kedepan Sistem Pendidikan di Indonesia bisa lebih baik lagi dan kesadaran para orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya segera tumbuh agar kelak masalah rendahnya literasi di Indonesia sekarang ini dapat segera teratasi.


Wahai anak-anak Indonesia, Kalian Dapet Salam Rindu Dari (Petugas) Perpustakaan !!!!!

Komentar